KPU di Persimpangan: Patuh pada MA atau Jaga Independensi?

KPU di Persimpangan: Patuh pada MA atau Jaga Independensi?

jannonews.com – Putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengubah batas usia calon kepala daerah menjadi enam bulan menjelang Pilkada serentak 2024 dianggap memfasilitasi praktik politik dinasti dan nepotisme. Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati, menyatakan bahwa putusan MA ini bisa menjadi masalah besar.

Menurut Neni, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak memiliki pilihan selain mematuhi putusan MA tersebut. Namun, dia juga menunjukkan bahwa perubahan ini tidak bertentangan dengan Pasal 4 Ayat (1) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) atau Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Pilkada).

“Keputusan ini akan menjadi preseden buruk bagi demokrasi lokal yang sedang berjalan,” ujar Neni seperti dikutip dari Kompas.com pada Jumat, 7 Juni 2024.

Neni menilai putusan MA ini memberikan kesempatan bagi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sekaligus anak bungsu Presiden Joko Widodo (Jokowi), Kaesang Pangarep, untuk bersaing di Pilkada serentak 2024.

“Putusan ini membuka peluang bagi anak muda yang memiliki hubungan kuat dengan politik dinasti dan kekerabatan, bukannya menciptakan kontestasi yang adil dan setara,” kata Neni.

Dia memperingatkan bahwa jika putusan ini memperkuat praktik politik dinasti, maka demokrasi di Indonesia akan sulit berkembang.

“Jangan berharap banyak demokrasi bisa maju jika elite politik terus mencari celah agar hukum dijadikan alat kuasa yang sarat nepotisme,” tambahnya.

Neni berharap KPU mengambil langkah berani dengan tidak mengadopsi putusan MA tersebut dalam Peraturan KPU (PKPU) untuk Pilkada serentak 2024. Namun, jika KPU terpaksa mengikutinya, lembaga ini dianggap jatuh ke dalam perangkap.

“Saya berharap KPU tidak menindaklanjuti putusan MA yang bertentangan dengan UU Pilkada,” ujar Neni. “Jika KPU mengadopsinya dalam revisi PKPU, maka terlihat jelas bahwa KPU terjebak dalam kepentingan politik pragmatis, kehilangan independensi dan imparsialitas sebagai penyelenggara Pemilu,” lanjutnya.

Sebagaimana diketahui, melalui putusan Nomor 23 P/HUM/2024, MA mengabulkan permohonan hak uji materi yang diajukan oleh Ketua Umum Partai Garda Perubahan Indonesia (Garuda), Ahmad Ridha Sabana, terkait Pasal 4 PKPU Nomor 9 Tahun 2020 dan UU Pilkada.

MA mengubah aturan penghitungan usia calon kepala daerah yang semula tertuang dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 9 Tahun 2020. Pasal 4 Ayat (1) huruf d PKPU mengenai batas usia calon kepala daerah awalnya berbunyi, “Berusia paling rendah 30 tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak penetapan Pasangan Calon.”

Setelah putusan MA, aturan usia calon kepala daerah dihitung pada saat calon tersebut dilantik sebagai kepala daerah definitif.

Menurut MA, Pasal 4 PKPU Nomor 9 Tahun 2020 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “berusia paling rendah 30 tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih.”

Putusan ini mendapat banyak perhatian karena dianggap bisa memuluskan jalan bagi kandidat muda dengan afiliasi politik kuat, terutama mereka yang berasal dari dinasti politik. Kritik keras datang dari berbagai pihak yang khawatir bahwa hal ini akan semakin mengukuhkan praktik nepotisme dalam politik Indonesia.

Neni Nur Hayati dan DEEP Indonesia menyerukan agar KPU tetap menjaga integritas dan tidak mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi demi kepentingan pragmatis. Mereka berharap bahwa keputusan terkait perubahan ini tidak dijadikan alat bagi kepentingan elit politik tertentu, melainkan tetap mengutamakan prinsip keadilan dan kesetaraan dalam proses demokrasi.

Jika KPU tetap mengadopsi putusan MA tersebut, hal ini bisa menjadi bukti nyata bahwa independensi lembaga pemilu di Indonesia mulai tergerus oleh kepentingan politik pragmatis. Masyarakat diharapkan tetap kritis dan terus mengawasi langkah-langkah KPU serta para pemangku kepentingan lainnya dalam mengelola pemilu yang adil dan demokratis.

Selain itu, diperlukan kesadaran dari seluruh elemen masyarakat untuk bersama-sama menolak segala bentuk praktik politik dinasti dan nepotisme. Dengan mengedepankan transparansi dan akuntabilitas, diharapkan proses pemilu di Indonesia bisa berjalan lebih demokratis dan menghasilkan pemimpin yang benar-benar berkompeten dan berintegritas.(KGAI-G)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *