jannonews.com – Indonesia mengalami kehilangan hutan primer sebesar 27% pada tahun 2023, sebuah lonjakan signifikan dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, berdasarkan analisis data deforestasi dari World Resources Institute (WRI), angka tersebut masih lebih rendah dibandingkan dekade 2010-an. Deforestasi di Indonesia terjadi mulai dari penebangan pohon di taman nasional yang dilindungi hingga konversi hutan untuk perkebunan kelapa sawit dan kertas.
“Deforestasi telah menurun sejak sekitar enam tahun lalu ketika tingkat deforestasi mencapai puncaknya. (Di satu sisi) ini kabar baik bagi Indonesia,” kata Rod Taylor, direktur global program kehutanan di WRI, dalam sebuah wawancara dengan AP News.
Namun, beberapa pihak menyuarakan kekhawatiran atas peningkatan deforestasi yang baru-baru ini terjadi, yang dikaitkan dengan tren global untuk menambang nikel dalam jumlah besar di Indonesia. Nikel dianggap sangat penting bagi transisi energi ramah lingkungan, tetapi ekstraksi nikel dapat merusak lingkungan.
Sebagai negara kepulauan tropis yang luas dan membentang di garis khatulistiwa, Indonesia memiliki hutan hujan terbesar ketiga di dunia. Hutan ini menjadi rumah bagi beragam satwa liar dan tumbuhan yang terancam punah, seperti orangutan, gajah, dan bunga raksasa. Data terbaru dari Global Land Analysis and Discovery di University of Maryland yang dipublikasikan oleh Global Forest Watch (GFW), sebuah platform yang dikelola oleh WRI, menunjukkan bahwa sejak tahun 1950, lebih dari 74 juta hektar hutan hujan Indonesia telah ditebang, dibakar, atau terdegradasi untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit, kertas, karet, pertambangan nikel, dan komoditas lainnya.
Indonesia adalah produsen minyak sawit terbesar di dunia, salah satu eksportir batu bara terbesar, dan produsen utama pulp hingga kertas. Negara ini juga mengekspor minyak dan gas, karet, timah, dan sumber daya alam lainnya.
Menurut analisis GFW, perluasan perkebunan industri terjadi di beberapa lokasi yang berdekatan dengan perkebunan kelapa sawit dan pulp serta kertas di Kalimantan dan Papua Barat. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Indonesia menyatakan bahwa perluasan tersebut terjadi pada konsesi yang diberikan sebelum pemerintahan saat ini menjabat pada tahun 2014. Namun, KLHK tidak memberikan tanggapan atas pertanyaan dan permintaan komentar terkait laporan ini dari AP News.
Data GFW tentang hilangnya hutan primer di Indonesia, yang merupakan hutan tua dengan simpanan karbon tinggi dan kaya keanekaragaman hayati, lebih tinggi dibandingkan statistik resmi Indonesia. Hal ini disebabkan karena sebagian besar hilangnya hutan primer di Indonesia terjadi di kawasan yang diklasifikasikan Indonesia sebagai hutan sekunder, yaitu kawasan yang sebagian besar telah beregenerasi melalui proses alami setelah aktivitas manusia seperti pembukaan lahan pertanian atau pemanenan kayu. Hutan sekunder biasanya memiliki kapasitas penyimpanan karbon yang lebih rendah dibandingkan hutan primer.
Deforestasi yang terkait dengan industri pertambangan terjadi di Sumatra, Sulawesi, Maluku, dan Kalimantan.
Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, bahan penting untuk kendaraan listrik, panel surya, dan produk-produk lain yang diperlukan untuk transisi energi ramah lingkungan. “Sebagian dari deforestasi ini dapat dikaitkan langsung dengan perluasan industri nikel di Indonesia,” kata Timer Manurung, direktur Auriga Nusantara, sebuah organisasi konservasi non-pemerintah yang berbasis di Indonesia.
Meskipun tidak jelas berapa banyak deforestasi di Indonesia yang disebabkan oleh pertambangan, Timer menyebutnya sebagai faktor pendorong yang signifikan. Ia mengatakan bahwa perkembangan pesat industri pertambangan dan nikel di Indonesia, termasuk lebih dari 20 pabrik peleburan baru untuk memproses bijih nikel, merupakan pengulangan kesalahan yang sama seperti yang dilakukan oleh industri kelapa sawit dan kayu pulp di Indonesia, yaitu meningkatnya deforestasi.
Rod Taylor mencatat bahwa deforestasi dalam skala besar tampaknya semakin menyusut dibandingkan masa lalu. Pada dekade 2010-an, terjadi ekspansi besar-besaran perkebunan kelapa sawit, kayu, dan perkebunan skala besar di seluruh Indonesia. Penelitian dalam jurnal Nature Climate Change menemukan bahwa laju deforestasi meningkat dua kali lipat menjadi sekitar 2 juta hektar per tahun selama tahun 2004-2014.
Pada tahun 2023, hilangnya hutan primer pada petak-petak yang luasnya lebih dari 100 hektar hanya menyumbang 15% dari total kehilangan, menurut analisis tersebut. Taylor menduga bahwa menyusutnya lahan deforestasi skala besar berkaitan dengan risiko reputasi yang harus dihadapi perusahaan jika ketahuan melakukan penebangan pohon.
Dalam beberapa dekade terakhir, organisasi non-pemerintah, konsumen, dan pemerintah, termasuk Uni Eropa, telah mendorong perusahaan untuk meninggalkan praktik deforestasi. Pada tahun 2018, Presiden Indonesia Joko Widodo membekukan izin baru perkebunan kelapa sawit selama tiga tahun. Dan laju deforestasi melambat antara tahun 2021-2022, menurut data pemerintah.
Namun, hilangnya hutan primer dalam skala kecil masih terjadi di seluruh Indonesia, termasuk di beberapa kawasan lindung seperti Taman Nasional Tesso Nilo dan Suaka Margasatwa Rawa Singkil di Pulau Sumatra. Kedua wilayah ini adalah rumah bagi hewan terancam punah seperti harimau dan gajah. Deforestasi juga berdampak pada bencana yang lebih parah dan mematikan. Selama El Nino terakhir di Indonesia pada tahun 2015-2016, kebakaran yang sengaja dilakukan untuk membuka lahan pertanian dengan cepat menyebar dan menimbulkan kabut asap di seluruh Asia Tenggara. Beberapa provinsi di Indonesia menyatakan keadaan darurat, penyakit pernapasan meningkat, dan ribuan masyarakat Indonesia harus meninggalkan rumah mereka.
“Kabar baiknya mungkin di Indonesia kini tindakan pencegahan kebakaran jauh lebih canggih dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Ini benar-benar membuat perbedaan,” kata Taylor.